Pemerintah Kembali Intervensi Otonomi Koperasi
Jakarta (BERITAINFORMASIcom) – Baru saja Kementerian Koperasi dan UKM RI mengeluarkan sebuah regulasi baru yang bernama Peraturan Deputi No. 33 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Uji Kelayakan dan Kepatutan Pengurus dan Pengawas Koperasi yang didasarkan pada Peraturan Menteri Tentang Pengawasan Koperasi.
Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto peraturan ini jelas tidak memiliki dasar hukum dan landasan filosofi yang jelas dan justru berpotensi menghambat perkembangan perkoperasian di tanah air.
“Peraturan ini cacat secara epistemik karena mewajibkan bagi koperasi untuk mengadakan uji kelayakan dan kepatutan bagi pengurus dan pengawasnya,”kata Suroto pada BERITAINFORMASIcom, Selasa 21 September 2021
Untuk menjadi pengurus dan pengawas koperasi itu hanya dibutuhkan sifat kerelawanan. Pengurus dan pengawas itu dipilih oleh anggota koperasi dan diatur sepenuhnya oleh koperasi itu sendiri secara demokratis.
“Peraturan ini jelas ngawur dan membuat susah pengembangan koperasi oleh masyarakat. Aturan ini bertentangan dengan Pasal 29 dan Pasal 38 UU nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,” ungkap Suroto
Pengurus dan pengawas koperasi itu dipilih dari dan oleh anggota dalam Rapat Anggota. Syarat untuk menjadi pengurus dan pengawas koperasi diatur sendiri oleh koperasi yang bersangkutan dalam Anggaran Dasarnya. Bukan urusannya Pemerintah untuk mengatur hal tersebut.
Seperti halnya bisnis pribadi, setiap orang, tanpa kecuali berhak untuk merintis dan mengembangkan koperasi. Kenapa tidak ada uji kelayakan dan kepatutan untuk bentuk badan hukum lainya seperti Perseroan dan Perkumpulan misalnya?
“Menteri koperasi ini seperti tidak paham apa itu yang disebut dengan subyek hukum baik itu perorangan atau badan hukum ficta persona dan perbuatan hukum seperti bisnis atau kegiatan usahanya,”Jelas Suroto
Ketika berkaitan dengan bisnis koperasi barulah koperasi itu dikenai peraturan tentang izin izin bisnis. Seperti izin perdagangan, izin pertambangan, izin simpan pinjam dan lain lain. Bukan mengintervensi koperasi sebagai subyek hukum.
”Peraturan ini jelas telah melecehkan otonomi koperasi. Padahal menurut UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian jelas disebut bahwa salah satu prinsip koperasi adalah otonom dan mandiri,” Tegas Suroto
Peraturan ini sama dengan Pengurus dan pengawas koperasi harus diminta persetujuan pemerintah. Padahal kita punya preseden buruk sepanjang Orde Baru berkuasa ketika pada waktu dulu Pengurus dan Pengawas itu harus direstui pemerintah walaupun tidak diatur dalam bentuk peraturan. Ini malah dipertegas melalui peraturan. Ini jelas pelanggaran hak asasi manusia serius.
Koperasi itu subyek hukum dan tidak ada di dunia ini yang mengawasi koperasi sebagai subyek hukum. Kita ini malah menerapkan peraturan yang over fasis melebihi jaman Orde Baru dulu.
UU Perkoperasian yang berlaku juga banyak menghargai kewenangan koperasi dengan banyak menyerahkan pengaturan internal koperasi melalui anggaran dasar koperasi sendiri.
Perintisan dan pengembangan koperasi itu membutuhkan sikap vokasional. Mereka yang semata didorong sepenuhnya oleh keinginan masyarakat sendiri.
Koperasi di Indonesia ini sudah banyak dihambat perkembangannya di lapangan, seperti halnya pendirian koperasi yang harus 20 orang lalu sekarang 9 orang misalnya. Kenapa harus dibebani oleh hal hal seperti ini?
Pendirian koperasi itu misalnya, menurut aturan International Cooperative Law Guidance yang diterbitkan oleh organisasi gerakan koperasi dunia International Cooperative Alliance ( ICA) itu memberikan arah yang jelas bahwa koperasi boleh didirikan oleh 2 orang. Sebagaimana orang membentuk perkumpulan.
Ini masih terus diintervensi soal kepengurusanya dan disyaratkan agar pengurus dan pengawas tunduk dan taat pada peraturan dan kebijakan pemerintah. Padahal kita tahu masalah besar dalam pengembangan koperasi di Indonesia selama ini justru karena regulasi yang buruk dan kebijakan yang jelek yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Ini seperti di India dahulu kala dimana kekuasaan registrar atau pejabat berlebihan ingin intervensi ke dalam tubuh koperasi melampaui kedaulatan anggota. Tapi beruntung Pengadilan Tinggi Andhra Pradesh kemudian mendukung hasil gugatan yg diajukan Samakya (advokasi gerakan koperasi) agar koperasi yang tidak dibantu pemerintah secara finansial dan dibebaskan dari intervensi pemerintah.
Dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur atau menyuruh pemerintah mengawasi koperasi. Pasal 60, 61, 62 dan 63 mengatur secara eksplisit mengenai tugas yang wajib dilakukan pemerintah untuk mengembangkan koperasi, tapi justru tidak dilakukan.
Pemerintah sepertinya melalui UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja juga ingin agar koperasi ini kembali seperti jaman Orde Baru, dimana bentuk pembinaan yang dikedepankan. Bukan memperkuat rekognisi terhadap otonomi dan kemandirian koperasi.
Kita tahu bahwa pembinaan itu telah berubah jadi pembinasaan terhadap prakarsa masyarakat untuk berkoperasi secara natural. Sehingga citra koperasi kita sampai hari ini masih dikesankan sebagai urusan public interest bukan didasarkan mutual interest. Koperasi jadi semacam alat proyek pemerintah semata.
Kalau dilihat dari motifnya ini sepertinya juga karena digerakkan oleh kepentingan bisnis proyek pemerintah semata tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat.(Na/Bi/Sa/Ry)
No Responses